loading…
Eko Ernada. Foto/Istimewa
Dosen dan Peneliti Kajian Timur Tengah Universitas Jember
SATU lagi rudal jatuh di Tel Aviv. Di selatan Lebanon, Hizbullah mulai menggeliat. Kapal induk Amerika telah tiba di Mediterania. Dan dunia—untuk kesekian kalinya—kembali berada di ujung krisis Timur Tengah yang tak kunjung reda. Tapi kali ini terasa berbeda. Iran tidak lagi berlindung di balik proksi. Mereka maju sendiri, menyerang langsung, dan menantang terbuka. Jika ini bukan pertanda perang regional yang lebih luas, lalu apa?
Konflik bersenjata yang pecah kembali antara Iran dan Israel sejak Juni 2025 bukan hanya soal serangan balasan. Ini adalah klimaks dari ketegangan panjang yang selama puluhan tahun disimpan dalam bentuk serangan bayangan, sabotase diam-diam, dan ancaman bersayap. Namun, setelah fasilitas nuklir Iran dihantam dan komandan elite mereka dibunuh oleh serangan Israel, Tehran memutuskan untuk tidak lagi bermain di balik layar. Ratusan rudal, drone jarak jauh, dan peluru kendali diluncurkan langsung ke jantung Israel. Dunia terkejut. Tapi bagi Iran, inilah waktunya menunjukkan bahwa mereka bukan sekadar “pengganggu” kawasan—mereka adalah kekuatan yang harus dihitung.
Langkah ini bukan tanpa risiko. Militer Israel dikenal sebagai salah satu yang paling canggih di dunia, dan responsnya datang secepat yang diperkirakan. Serangan udara menghantam depot senjata, markas komando, bahkan instalasi strategis di dalam wilayah Iran. Tapi Iran tetap berdiri. Serangan dibalas, komunikasi propaganda terus berjalan, dan pemimpin tertingginya menyatakan: Iran tidak akan mundur, berapa pun harganya.
Baca Juga: Prabowo soal Perang Iran vs Israel: Kita Ingin Semua Turunkan Suhu